Pawitra : Puncak Sejati Tanah Tertinggi Jawa
Perjalanan saya kali ini dimulai
dari inisiatif para rekan-rekan Bhajapala XVIII yang baru saja menyelesaikan
Ujian nasional dan mengajak saya untuk jalan-jalan santai ke Pawitra sebuah
gunung purba didekat kota kami tinggal, mungkin anda belum familiar dengan nama
Pawitra, gunung ini lebih dikenal dengan nama Penanggungan. Saya lebih suka
memanggilnya dengan nama pawitra karena dibandingkan dengan Penanggungan, Pawitra
terdengar lebih cantik, itu saja.
Terlepas dari nama pawitra yang
cantik itu sebenarnya nama Pawitra merupakan nama asli dari gunung ini. Nama pawitra
merupakan nama dari mitologi majapahit kuno dan berasal dari bahasa Sansekerta
dan memiliki arti gunung kabut. Melihat sejarahnya, saya rasa orang-orang jaman dahulu lebih pintar memilih nama.
Selain terkait ajakan rekan-rekan
bhajapala, jalan-jalan santai kali ini didasari untuk menghilangkan penat dari
rutinitas yang menjebak pikiran saya akhir-akhir ini, entah mengapa, ibaratkan ibu
hamil mengidam, kali ini saya sudah tak tahan memijakkan kaki di puncak gunung
Pawitra ini, merasakan dinginnya malam dan hembusan angin dan kabut gunung yang
sudah berbulan-bulan tak saya rasakan.
Gunung Pawitra atau Penanggungan
bisa dibilang sebagai gunung mungil, dengan ketinggian hanya 1653 MDPL, membuat
beberapa pendaki dengan ideologinya menganggap pawitra hanyalah sebuah bukit
karena tingginya kurang dari 2000 MDPL, namun dalam hati saya bertanya apakah
mereka berani menyebut Sikunir sebagai sebuah gunung? hanya sekedar info
sikunir memiliki ketinggian mencapai 2400 MDPL, namun dapat digapai hanya
dengan waktu tempuh 45 menit, masihkah ideologi itu dipakai?
Terlepas dari ketinggian, gunung
pawitra merupakan salah satu gunung purba tidur, dan tidak memiliki kawah,
kembali menuju permasalahan nama, konon kabarnya nama penanggungan dipakai
sampai sekarang karena menurut kepercayaan masyarakat majapahit, gunung Pawitra
merupakan gunung penanggung gunung-gunung lain di pulau Jawa, singkatnya jika
gunung Pawitra atau Penanggungan meletus maka pulau Jawa akan tenggelam, Sadis.
Gunung pawitra juga terkenal sebagai
puncak Sejati gunung tertinggi Jawa. Lagi-lagi menurut Mitologi hindu, Zaman
dahulu sekali, Dewa meletakkan Sebuah gunung suci bernama Meru (semeru) di
pulau Jawa, namun entah mengapa karena salah peletakkan pulau Jawa menjadi
sedikit miring ke arah barat, bak memotong tumpeng, sang dewa pun memotong
puncaknya dan meletakkannya di daerah timur dan menjadi Gunung Pawitra. Sekali lagi
ini hanya Mitologi, bagi umat muslim seperti penulis dilarang mempercayainya.
Perjalanan menuju Pawitra dimulai
dari kediaman saya, tepat pukul 3 sore, satu-persatu anggota bhajapala
berdatangan, diiringi hujan yang cukup deras tak menghalangi langkah mereka. Selain
anggota bhajapala, ada juga beberapa rekan non bhajapala yang juga turut serta.
Salah satunya adalah rekan bisnis bebek apung saya, yang turut menemani langkah
saya di Dieng beberapa waktu lalu, sebut saja ia “Bunga”.
Pukul 5 sore hujan pun reda,
berjumlah 9 orang kami menuju daerah bernama Trawas, tempat Pawitra berdiri
tegak. Kami mendaki melalui salah satu jalur pendakian terpopuler yaitu melalui
desa tamiajeng dengan kampus keren Ubaya-nya itu. Dengan duduk nyaman di jok
belakang motor V-ixion yang dikendarai oleh rekan bisnis bebek apung saya, kami
menerobos gelapnya malam jalan Pacet-trawas yang berkelok-kelok, ditemani hujan
dan kilat yang menyambar-nyambar.
Kumandang Adzan maghribpun
terdengar dan hujan yang semakin deraspun menyambut kami di desa tamiajeng. Kamipun
segera merapat ke balai desa tamiajeng untuk sekedar berlindung dari terpaan
hujan. Kondisi Tas carier saya nyaman terbungkus cover yang baru saya beli, tak
seperti baju saya yang setengah basah akibat air hujan yang menyelinap masuk
melalui celah jas hujan kalelawar tempat saya berlindung.
Hujan
masih terus mengucur hingga pukul setengah 7 malam, kami pun segera menuju
mushalla untuk melaksanakan kewajiban yang sempat tertunda, untungnya kami
masih sempat shalat maghrib walaupun hampir “beyond the limit”, setelah shalat
isya dan tentunya berdoa meminta keselamatan dan kelancaran kepada Allah Ta’la,
hujanpun mereda kami pun meluncur menuju pintu gerbang pendakian. Dengan membayar
biaya parkir sebesar 5000 rupiah kami pun berangkat. Nampaknya keadaan pawitra
sudah berubah, kami dikenakan izin masuk pendakian plus asuransi “katanya”
dengan biaya sebesar 6 ribu rupiah, saya sudah beberapa kali mendaki gunung ini
dan yang terakhir hampir setahun yang lalu, namun seingat saya biaya pendakian
saat itu tidak sebesar ini dan bisa dibilang swadaya. Namun saya kira tak
apalah asalkan pungutan tersebut untuk menjaga kelestarian alam gunung Pawitra,
bukan lari ke kantong-kantong pribadi dan menjadi lahan bisnis.
Diiringi
dengan doa meminta keselamatan dan kelancaran kepada Allah Ta’ala kami memulai
perjalanan kami, karena memang niatnya jalan-jalan santai kami tidak terlalu terburu-buru
apalagi dipastikan tiada kopi panas yang akan menemani kami di atas sana. Ditambah
lagi saya menemani perjalanan seorang ibu hamil 10 bulan, sebut saja *bunga*. Tak
hasil hampir 3,5 jam kami (berdua) baru sampai di puncak bayangan, tak seperti
terakhir kali saya mengunjungi tempat ini, angin seakan sedang jinak-jinaknya,
padahal gunung ini terkenal angin yang berhembus kencang menusuk tulang.
Setelah
mendirikan tenda dan berganti pakaian kering, saya segera bergabung dengan
rekan-rekan yang sedang menikmati sajian nasi bungkus yang dibawa salah satu
anggota bhajapala. Tak lama kemudian datanglah seorang pria berambut kribo
tebal. Membawa tas daypack menuju kearah kami, rupanya ia adalah salah satu
anggota kehormatan Bhajapala, sebut saja Mbah Ros. Rupanya ia membawa
kehangatan buat kami, ya sebuah kompor trangia ia bawakan dari kampung halaman
kami. segelas minuman hangat pun segera tersaji. Saya pun sempat mengabadikan
gemerlap lampu perkotaan dibawah. Di puncak bayangan masih terdapat sinyal
telepon genggam, bahkan dengan telepon genggam CDMA, kami sempat mengganti
status facebook, dan mengganti PM dan DP BBM dengan foto selfie bego yang kami
buat sebelumnya.
Tiada hal penting yang kami
lakukan malam itu, selain berbincang ringan dengan salah satu sahabat rekan
bisnis bebek apung, pembicaraan ringan
tentang kepenatan rutinitas dan tentunya pembicaraan tentang kaum hawa, sang tulang rusuk.
Esok paginya kami segera menuju
puncak utama, dengan kemiringan hampir 70 derajat kami memantapkan pijakkan
kaki. Dan karena saya mendampingi ibu hamil jadi kami berjalan santai dan
lambat menuju puncak. Setelah sampai di puncak kami hanya berfoto-foto dan
mengonsumsi sedikit biskuit dan wafer plus mi mentah sebagai sarapan pagi kami.
tak lama kami pun turun menuju puncak bayangan. Sepanjang perjalanan turun kami
pun terus menyemangati mereka yang sedang mencoba menggapai puncak Pawitra,
layaknya kami diberi semangat saat kami naik menuju puncak kata-kata yang
terucap hanyalah “sepuluh menit lagi, semangat!”.
Satelah sampai di puncak
bayangan, kami disambut oleh masakan mi ramen instan yang dibuat oleh beberapa
rekan yang tidak ikut ke puncak. Karena cuaca yang cukup panas, selera saya pun
sedikit berkurang dan saya hanya memakannya sedikit sebagai pengganjal perut.
Dari pengalaman yang saya rasakan
sebelumnya, perjalanan turun dari puncak bayangan pawitralah yang cukup membuat
lelah, dengan jalur yang menanjak lurus hampir dari awal hingga akhir ditambah
track yang licin membuat saya sering terjatuh. Dan seringkali saya menghela
napas dalam-dalam. Karena frustasi yang tak kunjung usai, dengan terpaksa sang
ibu hamil saya tinggalkan dibelakang bersama salah satu rekan bhajapala. Akhirnya
kami sampai di pintu pendakian, kami beristirahat sejenak menanti kedatangan dua
rekan istimewa kami itu. Cukup lama kami menanti, akhirnya mereka datang juga,
sang ibu hamil pun menghampiri saya dan langsung menuju motor V-ixion dan
membonceng saya menuju warung Mak ti untuk sekedar bersih-bersih dan
makan-makan. Setelah itu ia segera, menggeber motornya dengan cepat di jalur
trawas-mojokerto yang sedang sepi, saya yang berada di jok belakang
terpontang-panting berusaha menjaga keseimbangan tubuh. Pawitra, gunung seribuan rasa tigaribuan kata
rekan-rekan, dengan keindahannya, kita mencoba sabar mejejakinya menuju puncak,
mengasah pribadi, mengukir cita dan mencari damai.
gemerlap kota |
arjuna kembar welirang berselimut awan |
arjuna kembar welirang |
puncak bayangan tampak dari atas |
eksisme berlatarbelakang Arjuna Kembar Welirang |
Tidak ada komentar: