Pawitra : Puncak Sejati Tanah Tertinggi Jawa

Mei 02, 2014
 

Perjalanan saya kali ini dimulai dari inisiatif para rekan-rekan Bhajapala XVIII yang baru saja menyelesaikan Ujian nasional dan mengajak saya untuk jalan-jalan santai ke Pawitra sebuah gunung purba didekat kota kami tinggal, mungkin anda belum familiar dengan nama Pawitra, gunung ini lebih dikenal dengan nama Penanggungan. Saya lebih suka memanggilnya dengan nama pawitra karena dibandingkan dengan Penanggungan, Pawitra terdengar lebih cantik, itu saja.

Terlepas dari nama pawitra yang cantik itu sebenarnya nama Pawitra merupakan nama asli dari gunung ini. Nama pawitra merupakan nama dari mitologi majapahit kuno dan berasal dari bahasa Sansekerta dan memiliki arti gunung kabut. Melihat sejarahnya, saya rasa orang-orang  jaman dahulu lebih pintar memilih nama.

Selain terkait ajakan rekan-rekan bhajapala, jalan-jalan santai kali ini didasari untuk menghilangkan penat dari rutinitas yang menjebak pikiran saya akhir-akhir ini, entah mengapa, ibaratkan ibu hamil mengidam, kali ini saya sudah tak tahan memijakkan kaki di puncak gunung Pawitra ini, merasakan dinginnya malam dan hembusan angin dan kabut gunung yang sudah berbulan-bulan tak saya rasakan.

Gunung Pawitra atau Penanggungan bisa dibilang sebagai gunung mungil, dengan ketinggian hanya 1653 MDPL, membuat beberapa pendaki dengan ideologinya menganggap pawitra hanyalah sebuah bukit karena tingginya kurang dari 2000 MDPL, namun dalam hati saya bertanya apakah mereka berani menyebut Sikunir sebagai sebuah gunung? hanya sekedar info sikunir memiliki ketinggian mencapai 2400 MDPL, namun dapat digapai hanya dengan waktu tempuh 45 menit, masihkah ideologi itu dipakai?

Terlepas dari ketinggian, gunung pawitra merupakan salah satu gunung purba tidur, dan tidak memiliki kawah, kembali menuju permasalahan nama, konon kabarnya nama penanggungan dipakai sampai sekarang karena menurut kepercayaan masyarakat majapahit, gunung Pawitra merupakan gunung penanggung gunung-gunung lain di pulau Jawa, singkatnya jika gunung Pawitra atau Penanggungan meletus maka pulau Jawa akan tenggelam, Sadis. Gunung pawitra  juga terkenal sebagai puncak Sejati gunung tertinggi Jawa. Lagi-lagi menurut Mitologi hindu, Zaman dahulu sekali, Dewa meletakkan Sebuah gunung suci bernama Meru (semeru) di pulau Jawa, namun entah mengapa karena salah peletakkan pulau Jawa menjadi sedikit miring ke arah barat, bak memotong tumpeng, sang dewa pun memotong puncaknya dan meletakkannya di daerah timur dan menjadi Gunung Pawitra. Sekali lagi ini hanya Mitologi, bagi umat muslim seperti penulis dilarang mempercayainya.

Perjalanan menuju Pawitra dimulai dari kediaman saya, tepat pukul 3 sore, satu-persatu anggota bhajapala berdatangan, diiringi hujan yang cukup deras tak menghalangi langkah mereka. Selain anggota bhajapala, ada juga beberapa rekan non bhajapala yang juga turut serta. Salah satunya adalah rekan bisnis bebek apung saya, yang turut menemani langkah saya di Dieng beberapa waktu lalu, sebut saja ia “Bunga”.

Pukul 5 sore hujan pun reda, berjumlah 9 orang kami menuju daerah bernama Trawas, tempat Pawitra berdiri tegak. Kami mendaki melalui salah satu jalur pendakian terpopuler yaitu melalui desa tamiajeng dengan kampus keren Ubaya-nya itu. Dengan duduk nyaman di jok belakang motor V-ixion yang dikendarai oleh rekan bisnis bebek apung saya, kami menerobos gelapnya malam jalan Pacet-trawas yang berkelok-kelok, ditemani hujan dan kilat yang menyambar-nyambar.

Kumandang Adzan maghribpun terdengar dan hujan yang semakin deraspun menyambut kami di desa tamiajeng. Kamipun segera merapat ke balai desa tamiajeng untuk sekedar berlindung dari terpaan hujan. Kondisi Tas carier saya nyaman terbungkus cover yang baru saya beli, tak seperti baju saya yang setengah basah akibat air hujan yang menyelinap masuk melalui celah jas hujan kalelawar tempat saya berlindung. 

Setelah beberapa saat kami mendapat kabar beberapa rekan bhajapala yang sebelumnya berjanji akan menyusul kami, mengirimkan pesan singkat pertanda permintaan maaf sekaligus pembatalan keikutsertaannya. Semangat kami pun sedikit menurun, diakibatkan merekalah yang akan membawakan kompor yang tidak kami bawa sama sekali dalam tas-tas kami. selain itu mereka juga membawa 1 tenda tambahan untuk kami. praktisnya kami hanya membawa 1 tenda dome untuk dipakai oleh 9 orang, namun itu tak masalah bagi saya, karena sudah saya niatkan keberangkatan kali ini saya akan bercumbu dengan kehangatan sleeping bag saya dan akan menemani bintang-bintang di langit. Dikarenakan tiada kompor yang akan menemani kami nanti, kami niatkan untuk mengisi tenaga kami dulu di warung legendaris “Mak Ti”, dengan hanya merogoh kocek 8 ribu rupiah saya sudah mendapat sepiring nasi soto hangat plus satu gelas the hangat.

Hujan masih terus mengucur hingga pukul setengah 7 malam, kami pun segera menuju mushalla untuk melaksanakan kewajiban yang sempat tertunda, untungnya kami masih sempat shalat maghrib walaupun hampir “beyond the limit”, setelah shalat isya dan tentunya berdoa meminta keselamatan dan kelancaran kepada Allah Ta’la, hujanpun mereda kami pun meluncur menuju pintu gerbang pendakian. Dengan membayar biaya parkir sebesar 5000 rupiah kami pun berangkat. Nampaknya keadaan pawitra sudah berubah, kami dikenakan izin masuk pendakian plus asuransi “katanya” dengan biaya sebesar 6 ribu rupiah, saya sudah beberapa kali mendaki gunung ini dan yang terakhir hampir setahun yang lalu, namun seingat saya biaya pendakian saat itu tidak sebesar ini dan bisa dibilang swadaya. Namun saya kira tak apalah asalkan pungutan tersebut untuk menjaga kelestarian alam gunung Pawitra, bukan lari ke kantong-kantong pribadi dan menjadi lahan bisnis.

Diiringi dengan doa meminta keselamatan dan kelancaran kepada Allah Ta’ala kami memulai perjalanan kami, karena memang niatnya jalan-jalan santai kami tidak terlalu terburu-buru apalagi dipastikan tiada kopi panas yang akan menemani kami di atas sana. Ditambah lagi saya menemani perjalanan seorang ibu hamil 10 bulan, sebut saja *bunga*. Tak hasil hampir 3,5 jam kami (berdua) baru sampai di puncak bayangan, tak seperti terakhir kali saya mengunjungi tempat ini, angin seakan sedang jinak-jinaknya, padahal gunung ini terkenal angin yang berhembus kencang menusuk tulang.

Setelah mendirikan tenda dan berganti pakaian kering, saya segera bergabung dengan rekan-rekan yang sedang menikmati sajian nasi bungkus yang dibawa salah satu anggota bhajapala. Tak lama kemudian datanglah seorang pria berambut kribo tebal. Membawa tas daypack menuju kearah kami, rupanya ia adalah salah satu anggota kehormatan Bhajapala, sebut saja Mbah Ros. Rupanya ia membawa kehangatan buat kami, ya sebuah kompor trangia ia bawakan dari kampung halaman kami. segelas minuman hangat pun segera tersaji. Saya pun sempat mengabadikan gemerlap lampu perkotaan dibawah. Di puncak bayangan masih terdapat sinyal telepon genggam, bahkan dengan telepon genggam CDMA, kami sempat mengganti status facebook, dan mengganti PM dan DP BBM dengan foto selfie bego yang kami buat sebelumnya.

Tiada hal penting yang kami lakukan malam itu, selain berbincang ringan dengan salah satu sahabat rekan bisnis bebek apung,  pembicaraan ringan tentang kepenatan rutinitas dan tentunya pembicaraan tentang kaum hawa, sang tulang rusuk.

Esok paginya kami segera menuju puncak utama, dengan kemiringan hampir 70 derajat kami memantapkan pijakkan kaki. Dan karena saya mendampingi ibu hamil jadi kami berjalan santai dan lambat menuju puncak. Setelah sampai di puncak kami hanya berfoto-foto dan mengonsumsi sedikit biskuit dan wafer plus mi mentah sebagai sarapan pagi kami. tak lama kami pun turun menuju puncak bayangan. Sepanjang perjalanan turun kami pun terus menyemangati mereka yang sedang mencoba menggapai puncak Pawitra, layaknya kami diberi semangat saat kami naik menuju puncak kata-kata yang terucap hanyalah “sepuluh menit lagi, semangat!”.

Satelah sampai di puncak bayangan, kami disambut oleh masakan mi ramen instan yang dibuat oleh beberapa rekan yang tidak ikut ke puncak. Karena cuaca yang cukup panas, selera saya pun sedikit berkurang dan saya hanya memakannya sedikit sebagai pengganjal perut.

Dari pengalaman yang saya rasakan sebelumnya, perjalanan turun dari puncak bayangan pawitralah yang cukup membuat lelah, dengan jalur yang menanjak lurus hampir dari awal hingga akhir ditambah track yang licin membuat saya sering terjatuh. Dan seringkali saya menghela napas dalam-dalam. Karena frustasi yang tak kunjung usai, dengan terpaksa sang ibu hamil saya tinggalkan dibelakang bersama salah satu rekan bhajapala. Akhirnya kami sampai di pintu pendakian, kami beristirahat sejenak menanti kedatangan dua rekan istimewa kami itu. Cukup lama kami menanti, akhirnya mereka datang juga, sang ibu hamil pun menghampiri saya dan langsung menuju motor V-ixion dan membonceng saya menuju warung Mak ti untuk sekedar bersih-bersih dan makan-makan. Setelah itu ia segera, menggeber motornya dengan cepat di jalur trawas-mojokerto yang sedang sepi, saya yang berada di jok belakang terpontang-panting berusaha menjaga keseimbangan tubuh.  Pawitra, gunung seribuan rasa tigaribuan kata rekan-rekan, dengan keindahannya, kita mencoba sabar mejejakinya menuju puncak, mengasah pribadi, mengukir cita dan mencari damai.

gemerlap kota
arjuna kembar welirang berselimut awan
arjuna kembar welirang
puncak bayangan tampak dari atas

eksisme berlatarbelakang Arjuna Kembar Welirang



               
               
               


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.