Segara Anakan Pulau Sempu : Antara Komersialisasi Kawasan Konservasi dan Keindahan yang Ternoda
Perjalanan ini sebenarnya sudah
saya lakukan pada penghujung tahun 2013 yang lalu tepatnya pada tanggal 30
Desember hingga 1 Januari 2014, tepat pada pergantian tahun baru 2014.
Sebenarnya selain memang ingin menyaksikan pergantian tahun di pulau Sempu, kami
juga ingin mengecek bagaimana kondisi pulau sempu sekarang yang konon kabarnya
sudah banyak berubah dan semakin rusak. Kebetulan saya ternaungi dalam
organisasi pecinta alam Bhawana Jaya, sehingga selain tujuannya camping, kami
juga melakukan kegiatan bersih pulau sempu.
Perjalanan kami mulai dari
kampung halaman, kami berangkat dari terminal Kertajaya Mojokerto menuju
pertigaan Japanan menggunakan mikro bus, cukup mengeluarkan sebesar Rp.6000,-
saja, kemudian kami menumpang bus menuju terminal Arjosari malang, cukup
mengeluarkan kocek sebesar Rp.9000,-. Setibanya di terminal Arjosari Malang,
kami menyarter sebuah angkot langsung menuju pantai Sendang Biru, lokasi
terakhir sebelum kami menyebrang ke pulau sempu. Sebenarnya jika anda sedang
solo traveling, anda bisa menuju Pantai sendang Biru tanpa harus menyarter
angkot, naiklah angkot berketerangan AG menuju terminal Gadang (tarif
Rp.3000,-), kemudian dari terminal Gadang naiklah mobil L-300 menuju Turen,
(tarif Rp.4000), sesampainya di Turen naiklah angkot menuju Pantai Sendang Biru
( tarif Rp. 12000). Perjalanan dari terminal arjosari Malang menuju Pantai
Sendang Biru memang tergolong cukup lama, mengingat jaraknya yang cukup jauh.
Waktu yang dibutuhkan untuk sampai di pantai sendang biru mencapai 3 jam lebih,
jalanan yang berkelok-kelok belum lagi ditambah dengan kondisi didalam angkot
yang sempit sehingga kami berdesak-desakan membuat lambung seakan diguncang dan
kepalapun menjadi pusing, beruntunglah saya tidak terkena airsickness
angkotsickness “muntah didalam angkot”.
Sesampainya di Sendang biru kami
dikenai tarif masuk sebesar Rp.5000,- per orang, tidak mahal memang namun
melihat kondisi Pantai ini seakan saya sulit untuk mengeluarkan selembar kertas
oranye tersebut. Kalau boleh komentar saya rasa Sendang biru bukanlah sebuah
pantai bahkan lebih mirip pasar kaget, pesisir pantainya sudah dihuni oleh
deretan pedagang, mulai dari makanan hingga cenderamata, belum lagi
kebersihannya yang saya rasa perlu diacungi jempol terbalik. Masalah pelik
Indonesia, SDM!
Selanjutnya anda bisa mengurus surat
simaksi atau surat izin masuk kawasan konservasi, ya pulau sempu merupakan
kawasan konservasi, yang dikelola oleh BKSDA Pulau Sempu, pulau sempu memiliki
keanekaregaman hayati baik Flora maupun Fauna, sehingga bagi anda yang ingin
mengunjungi pulau sempu, selalu terapkan prinsip
kill nothing but time, take nothing but picture, and leave nothing but
footprint. Namun yang menurut saya cukup aneh dari kawasan konservasi, ada
petugas konservasi yang merangkap menjadi guide entah benar entah tidak, itulah
yang sering saya tangkap dengan mata saya ketika berpapasan dengan mereka
menuju segara anakan, pakaian mereka pun lengkap dengan atribut BKSDA Pulau
Sempu. Menurut cerita orang-orang di segara anakan tarif mereka bervariasi
kalau tidak salah untuk hanya mengantar tanpa menginap dikenakan tarif
Rp.100.000,- namun jika ingin mengajak mereka menginap di Segara Anakan anda
akan dikenakan tarif sebesar 200.000. sebuah komersialisasi kawasan konservasi telah
terjadi, Belum lagi para guide membuka jalan baru di pulau sempu yang membuat
habitat fauna endemik pulau sempu terganggu, jalur tersebut juga terkadang
menyesatkan para pengunjung pulau sempu, sehingga mau tidak mau anda harus
menyewa guide. Ah Indonesia!
kapal nelayan yang dapat disewa |
Singkat cerita setelah menyewa
sebuah kapal dengan tarif Rp.100.000,- PP, kami sampai di lokasi awal
perjalanan kami menuju Segara Anakan, tak butuh waktu lama hanya sekitar 10-15
menit. Melihat jalur perjalannya yang berlumpur hingga bisa mencapai dengkul
kaki membuat kami memutuskan untuk nyeker,
kami memang datang disaat musim penghujan dimana akan membuat trek menjadi
licin dan sangat berlumpur, waktu yang tepat untuk mengunjungi pulau sempu
adalah pada pada musim kemarau tepatnya pada bulan Juni – Agustus. Sepatu
kets akhirnya saya lepas, takut sol-nya hilang ditelan bumi ditengah
perjalanan. Sebenarnya di pantai sendang biru terdapat jasa penyewaan sepatu
khusus, dengan pul-pul dibawahnya, mirip sepatu bola begitulah, namun hal ini
tidak terlalu berarti mengingat lumpur yang teramat tebal, bahkan saya sempat
beberapa kali melihat pengunjung yang mencopot sepatu mereka dan lebih memilih nyeker seperti kami. Di segara Anakan
tidak ada sumber mata air, jadi bagi anda yang ingin camping di Segara anakan,
usahakan membawa persediaan air yang cukup.
lihat tumpukan sampah itu |
air laut bak air sungai |
Sepuluh meter pertama kami
langsung dihadang oleh track berlumpur yang membuat kami harus berpegangan pada
pohon-pohon di pinggir kami. ternyata hal tersebut merupakan awal dari
penderitaan jari jemari kaki kami, selama berjam-jam kami berjalan perlahan
sambil menggendong carrier berisi persediaan air kami untuk beberapa hari,
jatuh terpeleset-pun sudah hal menjadi hal yang biasa. Belum lagi karang-karang
tajam yang seringkali melukai telapak kaki kami. satu tips dari saya, sepatu
khusus yang disewakan masyarakat di Sendang Biru mungkin tidak terlalu efektif
menerjang lumpur, tapi cukup efektif menghalang karang karang tajam yang
menusuk kulit telapak kaki kita.
Setelah berjam-jam kami mendengar
suara deru ombak yang semakin lama semakin kencang, semangat saya muncul untuk
segera mengakhiri penderitaan ini , saya cepatkan langkah kaki, namun entah
kenapa suara deru ombak itu semakin lama semakin menghilang, ternyata Segara
Anakan masih cukup jauh, masih sekitar 3/5 perjalanan lagi. Ah pupus sudah
harapan itu.
Hari sudah mulai gelap, kami
mencoba memotong jalur, Pembina organisasi kami yang memimpin rombongan, namun
semakin lama jejak kaki yang ditinggalkan pengunjung semakin sedikit dan
lama-lama menghilang, trekpun mulai semakin rimbun oleh semak belukar, baru
kami sadar ternyata kami “tersesat”! Teknik Putar balik pun dilakukan! Headlamp
pun dinyalakan! Setelah saya pikirkan, Sebenarnya kami bukan “tersesat” lebih
tepat salah jalur pemirsa, hal ini diakibatkan oleh banyaknya jalur baru yang
dibuat oleh orang-orang yang mengkomersialisasikan tempat ini, sehingga membuat
pengunjung tanpa guide kebingungan. Dahulu jalur menuju segara anakan hanya satu
namun sekarang entah berapa jumlahnya.
Setelah melalui perjalanan
melelahkan dan menyakitkan selama lebih dari 3 jam, akhirnya kami sampai di Segara
Anakan, deburan ombak yang menerjang karang bolong seakan-akan menyambut kami,
tendapun didirikan, kompor trangia pun mulai dinyalakan. Singkat cerita setelah
kenyang kamipun tidur nyenyak di tenda kami, suasana malam pantai yang
hangatpun membuat tidur semakin aduhai.
Selama dua hari kami berada di Pulau Sempu, selain makan, berenang, tidur kami
juga melakukan kegiatan bersih segara anakan, dengan berbekal pelampung dari
jerigen air yang kami bawa, saya berkeliling sambil memunguti sampah yang
bersembunyi dibalik kejernihan air segara anakan, sementara rekan-rekan saya
yang lainnya memunguti sampah-sampah disekitar pesisir pantai. Sungguh ironis
memang segara dengan segenap keindahannya ini dikotori oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab. Mendirikan tenda terlalu dekat dengan bibir pantai
dapat beresiko sampah plastik yang kita letakkan di dekat tenda akan ikut
terbawa air saat pasang. Pasir Segara
anakan yang sebenarnya putih bersih, sekarang pun sudah mulai kotor,
sampah-sampah plastik seperti sobekan sekecil kuku jari dari bungkus bumbu mi
atau permen yang kadang tak tampak kasat mata karena sudah berbaur dengan
pasir. Pasir di dalam segara pun terkadang menghitam, hal ini diakibatkan tanah
hitam yang dibawa oleh sepatu-sepatu para pengunjung yang mencuci sepatu mereka
di dalam segara. Ya sudah selayaknya keindahan segara ini kita jaga bersama.
warga lokal pulau sempu |
Tak ada detik-detik perhitungan pergantian tahun ketika kami menikmati malam terakhir 2013 di segara anakan, tak lama berselang beberapa pengunjung langsung menyalakan petasan dan mengarahkannya ke udara, indah memang tapi mereka tak ingat mereka berada di kawasan konservasi dimana banyak fauna yang berlindung di dalamnya, suara yang memekakkan telinga bisa saja sangat mengganggu keberlangsungan kehidupan fauna endemik pulau sempu, kami hanya bisa diam sambil menyeruput kopi dari gelas kami.
Tanggal 1 Januari 2014 kami
putuskan untuk kembali menuju kampung halaman, langkah kami diiringi oleh hujan
dan badai yang semenjak kemarin menderu-deru (namun entah kenapa malam
pergantian tahun itu begitu tenang), segenap penyesalan terlintas di pikiran
kami ketika melihat alam yang begitu indah ini dikotori oleh tangan-tangan
manusia, Maafkan kami Sempu!
air laut dari samudera hindia masuk melalui karang bolong |
samudera hindia terhalang kokohnya tebing karang |
Tidak ada komentar: