Segara Anakan Pulau Sempu : Antara Komersialisasi Kawasan Konservasi dan Keindahan yang Ternoda

Maret 28, 2014

Perjalanan ini sebenarnya sudah saya lakukan pada penghujung tahun 2013 yang lalu tepatnya pada tanggal 30 Desember hingga 1 Januari 2014, tepat pada pergantian tahun baru 2014. Sebenarnya selain memang ingin menyaksikan pergantian tahun di pulau Sempu, kami juga ingin mengecek bagaimana kondisi pulau sempu sekarang yang konon kabarnya sudah banyak berubah dan semakin rusak. Kebetulan saya ternaungi dalam organisasi pecinta alam Bhawana Jaya, sehingga selain tujuannya camping, kami juga melakukan kegiatan bersih pulau sempu.

Perjalanan kami mulai dari kampung halaman, kami berangkat dari terminal Kertajaya Mojokerto menuju pertigaan Japanan menggunakan mikro bus, cukup mengeluarkan sebesar Rp.6000,- saja, kemudian kami menumpang bus menuju terminal Arjosari malang, cukup mengeluarkan kocek sebesar Rp.9000,-. Setibanya di terminal Arjosari Malang, kami menyarter sebuah angkot langsung menuju pantai Sendang Biru, lokasi terakhir sebelum kami menyebrang ke pulau sempu. Sebenarnya jika anda sedang solo traveling, anda bisa menuju Pantai sendang Biru tanpa harus menyarter angkot, naiklah angkot berketerangan AG menuju terminal Gadang (tarif Rp.3000,-), kemudian dari terminal Gadang naiklah mobil L-300 menuju Turen, (tarif Rp.4000), sesampainya di Turen naiklah angkot menuju Pantai Sendang Biru ( tarif Rp. 12000). Perjalanan dari terminal arjosari Malang menuju Pantai Sendang Biru memang tergolong cukup lama, mengingat jaraknya yang cukup jauh. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai di pantai sendang biru mencapai 3 jam lebih, jalanan yang berkelok-kelok belum lagi ditambah dengan kondisi didalam angkot yang sempit sehingga kami berdesak-desakan membuat lambung seakan diguncang dan kepalapun menjadi pusing, beruntunglah saya tidak terkena airsickness angkotsickness “muntah didalam angkot”.

Sesampainya di Sendang biru kami dikenai tarif masuk sebesar Rp.5000,- per orang, tidak mahal memang namun melihat kondisi Pantai ini seakan saya sulit untuk mengeluarkan selembar kertas oranye tersebut. Kalau boleh komentar saya rasa Sendang biru bukanlah sebuah pantai bahkan lebih mirip pasar kaget, pesisir pantainya sudah dihuni oleh deretan pedagang, mulai dari makanan hingga cenderamata, belum lagi kebersihannya yang saya rasa perlu diacungi jempol terbalik. Masalah pelik Indonesia, SDM!


Selanjutnya anda bisa mengurus surat simaksi atau surat izin masuk kawasan konservasi, ya pulau sempu merupakan kawasan konservasi, yang dikelola oleh BKSDA Pulau Sempu, pulau sempu memiliki keanekaregaman hayati baik Flora maupun Fauna, sehingga bagi anda yang ingin mengunjungi pulau sempu, selalu terapkan prinsip kill nothing but time, take nothing but picture, and leave nothing but footprint. Namun yang menurut saya cukup aneh dari kawasan konservasi, ada petugas konservasi yang merangkap menjadi guide entah benar entah tidak, itulah yang sering saya tangkap dengan mata saya ketika berpapasan dengan mereka menuju segara anakan, pakaian mereka pun lengkap dengan atribut BKSDA Pulau Sempu. Menurut cerita orang-orang di segara anakan tarif mereka bervariasi kalau tidak salah untuk hanya mengantar tanpa menginap dikenakan tarif Rp.100.000,- namun jika ingin mengajak mereka menginap di Segara Anakan anda akan dikenakan tarif sebesar 200.000.  sebuah komersialisasi kawasan konservasi telah terjadi, Belum lagi para guide membuka jalan baru di pulau sempu yang membuat habitat fauna endemik pulau sempu terganggu, jalur tersebut juga terkadang menyesatkan para pengunjung pulau sempu, sehingga mau tidak mau anda harus menyewa guide. Ah Indonesia!

kapal nelayan yang dapat disewa
Singkat cerita setelah menyewa sebuah kapal dengan tarif Rp.100.000,- PP, kami sampai di lokasi awal perjalanan kami menuju Segara Anakan, tak butuh waktu lama hanya sekitar 10-15 menit. Melihat jalur perjalannya yang berlumpur hingga bisa mencapai dengkul kaki membuat kami memutuskan untuk nyeker, kami memang datang disaat musim penghujan dimana akan membuat trek menjadi licin dan sangat berlumpur, waktu yang tepat untuk mengunjungi pulau sempu adalah pada pada musim kemarau tepatnya pada bulan Juni – Agustus. Sepatu  kets akhirnya saya lepas, takut sol-nya hilang ditelan bumi ditengah perjalanan. Sebenarnya di pantai sendang biru terdapat jasa penyewaan sepatu khusus, dengan pul-pul dibawahnya, mirip sepatu bola begitulah, namun hal ini tidak terlalu berarti mengingat lumpur yang teramat tebal, bahkan saya sempat beberapa kali melihat pengunjung yang mencopot sepatu mereka dan lebih memilih nyeker seperti kami. Di segara Anakan tidak ada sumber mata air, jadi bagi anda yang ingin camping di Segara anakan, usahakan membawa persediaan air yang cukup.

lihat tumpukan sampah itu

air laut bak air sungai
Sepuluh meter pertama kami langsung dihadang oleh track berlumpur yang membuat kami harus berpegangan pada pohon-pohon di pinggir kami. ternyata hal tersebut merupakan awal dari penderitaan jari jemari kaki kami, selama berjam-jam kami berjalan perlahan sambil menggendong carrier berisi persediaan air kami untuk beberapa hari, jatuh terpeleset-pun sudah hal menjadi hal yang biasa. Belum lagi karang-karang tajam yang seringkali melukai telapak kaki kami. satu tips dari saya, sepatu khusus yang disewakan masyarakat di Sendang Biru mungkin tidak terlalu efektif menerjang lumpur, tapi cukup efektif menghalang karang karang tajam yang menusuk kulit telapak kaki kita.



Setelah berjam-jam kami mendengar suara deru ombak yang semakin lama semakin kencang, semangat saya muncul untuk segera mengakhiri penderitaan ini , saya cepatkan langkah kaki, namun entah kenapa suara deru ombak itu semakin lama semakin menghilang, ternyata Segara Anakan masih cukup jauh, masih sekitar 3/5 perjalanan lagi. Ah pupus sudah harapan itu.

Hari sudah mulai gelap, kami mencoba memotong jalur, Pembina organisasi kami yang memimpin rombongan, namun semakin lama jejak kaki yang ditinggalkan pengunjung semakin sedikit dan lama-lama menghilang, trekpun mulai semakin rimbun oleh semak belukar, baru kami sadar ternyata kami “tersesat”! Teknik Putar balik pun dilakukan! Headlamp pun dinyalakan! Setelah saya pikirkan, Sebenarnya kami bukan “tersesat” lebih tepat salah jalur pemirsa, hal ini diakibatkan oleh banyaknya jalur baru yang dibuat oleh orang-orang yang mengkomersialisasikan tempat ini, sehingga membuat pengunjung tanpa guide kebingungan. Dahulu jalur menuju segara anakan hanya satu namun sekarang entah berapa jumlahnya.

Setelah melalui perjalanan melelahkan dan menyakitkan selama lebih dari 3 jam, akhirnya kami sampai di Segara Anakan, deburan ombak yang menerjang karang bolong seakan-akan menyambut kami, tendapun didirikan, kompor trangia pun mulai dinyalakan. Singkat cerita setelah kenyang kamipun tidur nyenyak di tenda kami, suasana malam pantai yang hangatpun membuat tidur semakin aduhai. Selama dua hari kami berada di Pulau Sempu, selain makan, berenang, tidur kami juga melakukan kegiatan bersih segara anakan, dengan berbekal pelampung dari jerigen air yang kami bawa, saya berkeliling sambil memunguti sampah yang bersembunyi dibalik kejernihan air segara anakan, sementara rekan-rekan saya yang lainnya memunguti sampah-sampah disekitar pesisir pantai. Sungguh ironis memang segara dengan segenap keindahannya ini dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mendirikan tenda terlalu dekat dengan bibir pantai dapat beresiko sampah plastik yang kita letakkan di dekat tenda akan ikut terbawa air  saat pasang. Pasir Segara anakan yang sebenarnya putih bersih, sekarang pun sudah mulai kotor, sampah-sampah plastik seperti sobekan sekecil kuku jari dari bungkus bumbu mi atau permen yang kadang tak tampak kasat mata karena sudah berbaur dengan pasir. Pasir di dalam segara pun terkadang menghitam, hal ini diakibatkan tanah hitam yang dibawa oleh sepatu-sepatu para pengunjung yang mencuci sepatu mereka di dalam segara. Ya sudah selayaknya keindahan segara ini kita jaga bersama.


warga lokal pulau sempu

Tak ada detik-detik perhitungan pergantian tahun ketika kami menikmati malam terakhir 2013 di segara anakan, tak lama berselang beberapa pengunjung langsung menyalakan petasan dan mengarahkannya ke udara, indah memang tapi mereka tak ingat mereka berada di kawasan konservasi dimana banyak fauna yang berlindung di dalamnya, suara yang memekakkan telinga bisa saja sangat mengganggu keberlangsungan kehidupan fauna endemik pulau sempu, kami hanya bisa diam sambil menyeruput kopi dari gelas kami.

Tanggal 1 Januari 2014 kami putuskan untuk kembali menuju kampung halaman, langkah kami diiringi oleh hujan dan badai yang semenjak kemarin menderu-deru (namun entah kenapa malam pergantian tahun itu begitu tenang), segenap penyesalan terlintas di pikiran kami ketika melihat alam yang begitu indah ini dikotori oleh tangan-tangan manusia, Maafkan kami Sempu! 



air laut dari samudera hindia masuk melalui karang bolong

samudera hindia terhalang kokohnya tebing karang



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.